Tuesday 25 September 2007

Renungan "Basi" Kemerdekaan RI

ini tulisan basi, telat, tidak peka, tidak nasionalis. Bikin tulisan dalam rangka hari kemerdekaan tapi baru diposting sekarang. Maklum yang nulis agak pemalas dan terlalu lama berpikir. Kalau berpikirnya terlalu cepat takut dikira malas berpikir, ya sudah saya bikin lama saja supaya dibilang tel-mi. Tapi yang penting isinya, bukan bungkus, selamat menikmati, semoga lekas sembuh.

Hampir 62 tahun Indonesia merdeka, segala suka dan duka telah dilewati. Berbekal kejayaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada, Indonesia melangkah untuk mewujudkan kembali kejayaan nusantara. Namun rupanya kita tidak pernah belajar dari kejayaan itu, kita hanya tahu kalau nusantara ini pernah berjaya dan tenggelam dalam memori-memori masa lalu.

Kita memang tidak boleh melupakan sejarah dan mau belajar dari apa pernah terjadi dan kita lakukan, akan tetapi menjadi tidak baik bila kita menjadi manusia masa lalu seperti yang terjadi dengan bangsa ini. Bangsa Indonesia terjebak dalam kenangan-kenangan sehingga lupa dengan masa depan yang pasti tidak pasti. Kalau memang harus seperti untuk apa negara ini ada.

Oleh para pendiri negara ini, Indonesia adalah alat, sebagai jembatan emas, untuk mencapai kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Mengingat dan belajar dari masa lalu dengan segala keberhasilan dan kegagalannya itu sangat penting, tetapi mengingat-ingat dan mencari-cari kesalahan masa lalu bukanlah hal yang baik. Ironisnya kita masih saja mengungkit-ungkit masa lalu dan terjebak dalam dendam.

Kita lihat bagaimana umat Islam yang selalu saja membangga-banggakan kejayaan masa lalunya, umat Kristen yang membangga-banggakan kejayaan Eropa masa lampau, umat Hindu juga Budha yang terjebak dalam kebanggaan akan peradaban yang ditinggalkan. Padahal semua agama mengajarkan kita untuk melihat masa depan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran untuk melangkah ke masa depan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh feodalisme zaman kerajaan di Indonesia begitu mengakar hingga kedalam jiwa bangsa Indonesia. Dari masa ke masa kita tidak pernah bisa menerima kesalahan diri kita sendiri, setidaknya itu tampak ketika kita memberi dan menerima nasihat atau pendapat orang lain. Inilah yang tidak perhatikan dari masa lalu, kita lupa bahwa para raja yang dulu pernah berkuasa jatuh karena urusan mata, telinga dan mulut serta bawah perut.

Hanya demi kepentingan kelompok dan diri sendiri kepentingan orang banyak dikorbankan. Feodalisme salah kaprah masih mengakar kuat dalam setiap sendi kehidupan manusia, ini sebenarnya masuk dalam budaya materialisme hanya saja bentuknya saja yang berbeda. Karena harta menjadi kekuasan baru maka berlomba-lombalah manusia-manusia Indonesia mengumpulkan harta. Alih-alih tujuan mengumpulkan untuk menjaga diri malah manusianya yang menjaga harta.

Karena harta banyak manusia Indonesia yang bermain-main dan mempermain-mainkan kata-kata yang diucapkan. Pegawai negeri dan pejabat benar-benar mentunaikan tugasnya, jadi korupsi itu menjadi sesuatu yang wajar, sebab korupsi adalah bentuk mentunaikan tugas, kalau tidak korupsi tugasnya tidak tunai alis lunas. Jadi kalau ada yang bilang mereka korupsi itu salah besar, sebab orang-orang ini hanya melaksanakan janji yang telah diucapkan.

Belajarlah dari masa lalu, bukan dijadikan dendam dan terkurung pada masa lalu. Jangan pernah menyesal karena salah memilih presiden, gubernur, bupati, camat, lurah, kepala dusun, ketua kelas dan lain-lain. Bukan salah presiden kalau gagal menyejahterakan rakyat , memberikan pekerjaan, mencerdaskan rakyat dan sebagainya dan lainnya.

Janji pemimpi(n) kita dulu adalah mengentaskan kemiskinan, membuka lapangan kerja, memberantas kebodohan dan kemiskinan, mengangkat harkat dan martabat bangsa dan janji-janji yang lain hingga membuat telinga kita “cumpleng”. Maka dari itu rakyat Indonesia tidak pernah sejahtera, karena kita mengentaskan kemiskinan, hasilnya semakin banyak yang menjadi miskin.

Semakin banyak pengangguran karena pemimpi(n) kita hanya membuka lapangan kerja dan tidak pernah memberikan pekerjaan. Demikian pula dengan semakin banyaknya penggusuran dan penindasan, sesuai dengan janji pemimpi(n) kita untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan, akhirnya orang-orang yang miskin dan bodoh diberantas, dipenjarakan bahkan kalau perlu ditenggelamkan ke dalam lumpur Sidoarjo yang benar-benar dijadikan sebagai pusat pengentasan kemiskinan.

Kembali belajar pada masa lalu, jangan jadikan negeri ini sebagai negeri simbol, hanya gara-gara simbol-simbol bangsa ini pernah alergi terhadap warna kuning. Apalagi setelah ada paradigma ba(r)u, ingat tahi itu kuning juga bau, jadinya kuning itu sama dengan bau, sama seperti gigi orang paradigma ba(r)u yang jarang digosok. Simbol berarti juga keterwakilan, itu dia biang susahnya bangsa ini. Karena bangsa ini suka dengan wakil-mewakili sampai-sampai absen mahasiswa pun diwakili, kesejahteraan rakyat pun cukup diwakili oleh orang-orang yang ada di gedung atap hijau di Senayan. Apa kata dunia???

No comments:

Post a Comment