Monday 18 February 2008

Manusia-Manusia Munafik

Bencana alam seolah sudah menjadi teman akarab kita sehari-hari, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan di beberapa daerah bahkan “kebakaran jenggot” para pejabat negara ini. Tapi kok adil ya kalau dari dulu kita ngobok-obok pejabat terus, seolah-olah mereka salah terus dan rakyat selalu benar. Padahal rakyat juga banyak ndableknya sehingga bikin tatanan kehidupan alam, ideologi beserta saudara-saudaranya yang tergabung dalam poleksosbudhankam bersaudara menjadi kacau.
Rakyat Indonesia seolah tidak mau peduli kalau harga minyak dunia itu naik terus dan susah turun sama seperti harga sembako di pasar tempat saya biasa beli beras merah dan jamu untuk istri saya. Namanya barang kalau semakin sedikit jumlahnya dan permintaannya semakin gila-gilaan ya harganya semakin mahal karena harus rebutan sama banyak orang, tapi rakyat Indonesia kan susah diajak berpikir seperti itu. Tahunya BBM harus murah terus kalau bisa disubsidi terus ga peduli uang subsidinya hasil hutang atau bukan, repotnya kalau negara berhutang lagi yang ribut juga ga sedikit, sama seperti istilah “nyamuknya cuma satu kok, yang banyak temen-temenya.”
K(e)redit motor yang mudah juga ikut menyumbang bengkaknya jumlah k(e)redit macet di Indonesia. Bayangkan menjelang lebaran Aidil Fitri tiba jumlah penjualan kendaraan bermotor khususnya roda dua melalui sistem k(e)redit meningkat namun setelah ritual mudik selesai jumlah motor yang ditarik dealer karena cicilannya berhenti hampir separuhnya. Nanti giliran negara ini susah kasih subsidi banyak yang teriak-teriak lagi, makanya bangsa ini kok banyak kena musibah, lha seneng banget jadi bangsa munafik.
Yang lebih lucu lagi kemunafikan yang dilakukan oleh para aktifis kampus, LSM, dan para wartawan negara Indonesia yang sudah memberikan kita kewarganegaraan, daripada ga ada. Sering kita ngomong anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme bahkan anti-anti yang lain sampai-sampai anti nikah (katanya, padahal emang ga laku) sehingga ga dapat jodoh juga tapi pada kenyataannya dilanggar juga tuh rentetan anti-nya. Giliran ditilang pak polis ngasih duit juga, nah kalau wartawan yang ngelanggar dia ngancem bakal di masukkin ke media tempat dia kerja, padahal jelas-jelas dia yang salah, alasannya lagi-lagi UU Pers dan selalu itu yang menjadi senjata.
Lagi-lagi masyarakat juga selalu membuat ulah kaena memang banyak yang tidak paham, lha wong mahasiswa, aktifis dan insan pers juga ga paham dengan konsep yang dulu selalu diagung-agungkan dan terus-menerus disuarakan yakni demokrasi dan otonomi daerah. Mungkin kita yang dulu 1998 pernah turun dan berjuang dijalan baik mahasiswa, aktifis LSM dan pers serta aparat harus meminta maaf pada bangsa ini karena telah memberikan contoh buruk pelaksanaan demokrasi, sehingga masyarakat memberikan makna yang salah pada demokrasi.
Memang kita seharusnya banyak bergaul di lingkungan sekitar kita, tidak lingkungan dalam kampus atau antar kampus saja, kalau bisa kita tongkrongin tuh pangkalan ojek, becak, dan tukang sayur asal jangan pangkalan penimbunan BBM saja, nanti kita bisa kena dusta. Dengan bergaul ilmu yang kita dapat bisa kita amalkan sehingga masyarakat memiliki pandangan yang benar tentang demokrasi, sebab kalau kita mau mencari tahu dan mengamati, dalam benak masyarakat yang namanya demokrasi adalah demonstrasi, da demonstrasi itu rusuh. Ini menurut teori pembelajaran media, masyarakat belajar dan meniru konsep sikap dan perilaku dari media massa. Jadilah masyarakat belajar dari peristiwa 1998 yang menjadi simbol demokrasi di Indonesia
Maka dari itu sudah sepantasnya kita mahasiswa, aktifis kampus dan LSM, aparatus erectus dan insan media harus meminta maaf atas kejadian 1998 sehingga memberikan pengetahuan yang salah tentang demokrasi. Begitu kalah pemilu Gara-gara hal ini pula rakyat menjadi lebih berani melanggar hukum atas nama reformasi dan demokrasi, lihat saja kasus penebang liar di daerah Boyolali, Tawangmangu, dan beberapa daerah lainnya berani melawan aparatus erectus ketika hendak ditangkap, parahnya warga ikut melindungi para penebang liar itu. Yang bikin jengkel dan sangat lucu ketika terjadi bencana tanah longsor dan banjir kok malah teriak-teriak kepada pemerintah kok ga becus mencegah bencana, ini salah satu kemunafikan bangsa Indonesia yang lainnya.
Kalau sudah begini mahasiswa jangan hanya di kampus saja dan harus banyak bergaul dengan masyarakat karena tidak semua masyarakat ada di kampus, LSM jangan mau disetir pemberi dana karena negara dan bangsa kita adalah negara dan bangsa yang merdeka bukan jajahan mereka para pemberi dana, aparatus erectus harus memahami dan belajar ilmu sosial dengan benar karena itu tugas aparatus erectus dan selain itu warga sipilis bukan aparatus erectus jadi harus diperlakukan sesuai dengan kesipilisannya, dan insan media massa jangan terjebak oleh Jakartaisme karena Indonesia kita itu Bhineka bukan boneka bukan hanya Jakarta dan bergaya hidup Jakarta yang selalu dilihat di infotainment. Dan pemerintah juga jangan sibuk membangun citra karena itu tugas humas, citra pemerintah terbangun karena kinerjanya bukan lewat foto, gerak tubuh, ataupun kata-kata yang teratur.
Intinya jangan omdo alias omong dodol, kerja, kerja dan kerja, bukti,bukti dan bukti, jangan cuma diskusi habis itu basi karena masalah berganti setiap hari, polisi juga jangan aksi doang, diskusi juga biar ga berhati besi