Sunday 13 July 2008

MLETHO

MLETHO, cukup satu kata untuk menggambarkan bagaiman kebijakan energi pemerintah, mleto berarti tidak aturan, berantakan, tidak mau disiplin, seenaknya sendiri dan nyerempet-nyerempet dengan kata sontoloyo. Cukup aneh kita yang memiliki sumber energi, tapi kita sendiri kekurangan, rasanya saya hampir bosan menuliskan kalimat ini. Tapi itu dia kenyataannya, kita seperti ayam kelaparan di lumbung padi.
Sekali lagi MLETHO, bagaimana tidak mletho, pemerintah sendiri yang membuat negara ini masuk dalam krisis dengan menaikkan harga BBM, ketika diingatkan, alasan mereka anggaran defisit. Kini ketika pengusaha mengeluh dan mengancam akan menarik investasi baru pemerintah yang hampir sontoloyo ini bingung. Ingat para pengusaha menaruh investasi di Indonesia bukan tanpa perhitungan.
Ada beberapa hal yang menjadi perhitungan para investor, pertama tenaga kerja yang murah, kedua bahan baku yang melimpah dan ketiga adalah negara ini memiliki sumber energi yang lebih dari cukup. Namun kenyataannya pemerintah tidak sadar akan hal ini, dan yang paling vital di masa depan adalah bagaimana mengelola cadangan energi nasional, kita harus bisa menabung, bukan berarti pelit, tapi bagaimana memenuhi kebutuhan diri sendiri lebih dahulu baru kepentingan orang lain.
Sebetulnya itulah prinsip kapitalisme, urus diri sendiri terlebih dahulu, kalau sudah cukup memiliki kemampuan baru kemudian membantu orang lain. Masalahnya pemerintah serba terbalik, dalam berdagang dengan negara lain komunis, terhadap sesama PEDABAT (pedagang yang jadi pejabat) dan PEJAGANG (pejabat yang jadi pedagang) berjiwa sosialis terhadap rakyatnya sendiri menjadi kapitalis, lalu dimana fungsi pemerintah yang semestinya mensejahterakan rakyat, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang-goyang

Tuesday 18 March 2008

Lampu menyala yang mati

Lampu menyala yang mati
Bukan maksudnya bikin bingung seperti keadaan PLN yang bkin lampu mati, nyala, mati, nyala, tapi ini tentang kebijakan menyalakan lampu kendaraan roda duwa alias dogos, alias motor yang mati, yang jelas dimatiin sama pengendaranya. Kalau menurut tips aman berkendara di motorcyclecruiser.com salah satu cara untuk mengurangi risiko kecelakaan adalah selalu beranggapan kita tidak terlihat, yang jelas bukan karena punya ilmu kanuragan atau sejenisnya, kalau yang kaya begitu saya juga mau, tapi tidak terlihat oleh pengendara lain di kaca spion.
Selain menggunakan pakaian yang berwarna terang, untuk membuat posisi kita mudah terlihat dan dipantau oleh kendaraan lain adalah dengan menyalakan lampu motor. Jujur saja ini salah satu cara yang efektif, pernah saya melakukan percobaan kecil-kecilan sebelum ada aturan ini dengan cara membandingkan antara motor dengan lampu menyala di siang hari dan jika tidak menyalakan lampu dilihat dari spion. Hebatnya kira-kira jarak 500 meter atawa setengah kilo saya masih bisa melihat motor yang lampunya menyala di kaca spion sedangkan yang lampunya mati tidak terlihat karena samar dengan aspal jalan.
Sayangnya masyarakat bahkan juga aparat kurang begitu peduli dengan hal seperti ini. Banyak yang curiga jangan-jangan ini hanya permainan perusahaan bohlam lampu motor saja, padahal dengan lampu menyala lampu motor masih bisa hidup dua tahun lebih, ini juga pengalaman pribadi lho, sewaktu belum ada aturan lampu menyala di siang hari, sampai-sampai dikatain orang gila, bahkan sempat adu mulut sama pak polisi gara-gara lampu motor nyala di siang bolong.
Jadi menyalakan lampu sepeda motor bukan tidak ada alasan yang logis, apalagi dengan banyak kondisi jalan di Indonesia yang rusak karena banjir atau longsor, mudah untuk dipantau bukan hanya membantu pengendara kendaraan yang lain, tetapi juga membantu diri sendiri untuk terhindar dari kecelakaan. Tinggal pilih, mau selametin duwit 20rebu keselamatan terancam atau lampu nyala keselametan bisa dijaga

Monday 18 February 2008

Manusia-Manusia Munafik

Bencana alam seolah sudah menjadi teman akarab kita sehari-hari, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan di beberapa daerah bahkan “kebakaran jenggot” para pejabat negara ini. Tapi kok adil ya kalau dari dulu kita ngobok-obok pejabat terus, seolah-olah mereka salah terus dan rakyat selalu benar. Padahal rakyat juga banyak ndableknya sehingga bikin tatanan kehidupan alam, ideologi beserta saudara-saudaranya yang tergabung dalam poleksosbudhankam bersaudara menjadi kacau.
Rakyat Indonesia seolah tidak mau peduli kalau harga minyak dunia itu naik terus dan susah turun sama seperti harga sembako di pasar tempat saya biasa beli beras merah dan jamu untuk istri saya. Namanya barang kalau semakin sedikit jumlahnya dan permintaannya semakin gila-gilaan ya harganya semakin mahal karena harus rebutan sama banyak orang, tapi rakyat Indonesia kan susah diajak berpikir seperti itu. Tahunya BBM harus murah terus kalau bisa disubsidi terus ga peduli uang subsidinya hasil hutang atau bukan, repotnya kalau negara berhutang lagi yang ribut juga ga sedikit, sama seperti istilah “nyamuknya cuma satu kok, yang banyak temen-temenya.”
K(e)redit motor yang mudah juga ikut menyumbang bengkaknya jumlah k(e)redit macet di Indonesia. Bayangkan menjelang lebaran Aidil Fitri tiba jumlah penjualan kendaraan bermotor khususnya roda dua melalui sistem k(e)redit meningkat namun setelah ritual mudik selesai jumlah motor yang ditarik dealer karena cicilannya berhenti hampir separuhnya. Nanti giliran negara ini susah kasih subsidi banyak yang teriak-teriak lagi, makanya bangsa ini kok banyak kena musibah, lha seneng banget jadi bangsa munafik.
Yang lebih lucu lagi kemunafikan yang dilakukan oleh para aktifis kampus, LSM, dan para wartawan negara Indonesia yang sudah memberikan kita kewarganegaraan, daripada ga ada. Sering kita ngomong anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme bahkan anti-anti yang lain sampai-sampai anti nikah (katanya, padahal emang ga laku) sehingga ga dapat jodoh juga tapi pada kenyataannya dilanggar juga tuh rentetan anti-nya. Giliran ditilang pak polis ngasih duit juga, nah kalau wartawan yang ngelanggar dia ngancem bakal di masukkin ke media tempat dia kerja, padahal jelas-jelas dia yang salah, alasannya lagi-lagi UU Pers dan selalu itu yang menjadi senjata.
Lagi-lagi masyarakat juga selalu membuat ulah kaena memang banyak yang tidak paham, lha wong mahasiswa, aktifis dan insan pers juga ga paham dengan konsep yang dulu selalu diagung-agungkan dan terus-menerus disuarakan yakni demokrasi dan otonomi daerah. Mungkin kita yang dulu 1998 pernah turun dan berjuang dijalan baik mahasiswa, aktifis LSM dan pers serta aparat harus meminta maaf pada bangsa ini karena telah memberikan contoh buruk pelaksanaan demokrasi, sehingga masyarakat memberikan makna yang salah pada demokrasi.
Memang kita seharusnya banyak bergaul di lingkungan sekitar kita, tidak lingkungan dalam kampus atau antar kampus saja, kalau bisa kita tongkrongin tuh pangkalan ojek, becak, dan tukang sayur asal jangan pangkalan penimbunan BBM saja, nanti kita bisa kena dusta. Dengan bergaul ilmu yang kita dapat bisa kita amalkan sehingga masyarakat memiliki pandangan yang benar tentang demokrasi, sebab kalau kita mau mencari tahu dan mengamati, dalam benak masyarakat yang namanya demokrasi adalah demonstrasi, da demonstrasi itu rusuh. Ini menurut teori pembelajaran media, masyarakat belajar dan meniru konsep sikap dan perilaku dari media massa. Jadilah masyarakat belajar dari peristiwa 1998 yang menjadi simbol demokrasi di Indonesia
Maka dari itu sudah sepantasnya kita mahasiswa, aktifis kampus dan LSM, aparatus erectus dan insan media harus meminta maaf atas kejadian 1998 sehingga memberikan pengetahuan yang salah tentang demokrasi. Begitu kalah pemilu Gara-gara hal ini pula rakyat menjadi lebih berani melanggar hukum atas nama reformasi dan demokrasi, lihat saja kasus penebang liar di daerah Boyolali, Tawangmangu, dan beberapa daerah lainnya berani melawan aparatus erectus ketika hendak ditangkap, parahnya warga ikut melindungi para penebang liar itu. Yang bikin jengkel dan sangat lucu ketika terjadi bencana tanah longsor dan banjir kok malah teriak-teriak kepada pemerintah kok ga becus mencegah bencana, ini salah satu kemunafikan bangsa Indonesia yang lainnya.
Kalau sudah begini mahasiswa jangan hanya di kampus saja dan harus banyak bergaul dengan masyarakat karena tidak semua masyarakat ada di kampus, LSM jangan mau disetir pemberi dana karena negara dan bangsa kita adalah negara dan bangsa yang merdeka bukan jajahan mereka para pemberi dana, aparatus erectus harus memahami dan belajar ilmu sosial dengan benar karena itu tugas aparatus erectus dan selain itu warga sipilis bukan aparatus erectus jadi harus diperlakukan sesuai dengan kesipilisannya, dan insan media massa jangan terjebak oleh Jakartaisme karena Indonesia kita itu Bhineka bukan boneka bukan hanya Jakarta dan bergaya hidup Jakarta yang selalu dilihat di infotainment. Dan pemerintah juga jangan sibuk membangun citra karena itu tugas humas, citra pemerintah terbangun karena kinerjanya bukan lewat foto, gerak tubuh, ataupun kata-kata yang teratur.
Intinya jangan omdo alias omong dodol, kerja, kerja dan kerja, bukti,bukti dan bukti, jangan cuma diskusi habis itu basi karena masalah berganti setiap hari, polisi juga jangan aksi doang, diskusi juga biar ga berhati besi