Masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengenal Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah lembaga negara baru, hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD)1945. Amandemen UUD 1945 sendiri, merupakan salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 yang dihembuskan oleh rakyat, aktivis dan kalangan akademisi. Sehingga tidak salah jika dikatakan MK merupakan anak kandung gerakan reformasi. bahkan beberapa kawan yang tinggal tidak jauh dari gedung MK pun hanya mengetahui MK dari gedungnya saja, namun tidak tahu apa itu MK secara mendalam.
MK sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, memiliki empat wewenang dan satu kewajiban. Kewenangan dasar MK adalah menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945, kewenangan ini dimiliki MK di seluruh dunia. Sebelum amandemen UUD 1945, Indonesia tidak memiliki mekanisme hukum untuk menguji UU terhadap konstitusi. Sehingga jika ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari berlakunya suatu UU, tidak ada lembaga yang dapat memberikan pendapat hukum atas pelanggaran itu. Di era orde baru, semua permasalahan konstitusionalitas suatu UU selalu diselesaikan mekanisme politik, dimana kelompok yang berkuasa menentukan konstitusionalitas suatu aturan.
Sebuah kebijakan selalu dibuat berdasar kepentingan suatu kelompok tertentu, kedekatan penguasa dengan pengusaha menciptakan industri kekuasaan, dimana kebijakan diperjual belikan oleh penguasa kepada mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Hak-hak rakyat selalu diabaikan dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan penguasa tidak segan-segan menggunakan kekerasan mengatasnamakan konstitusi dan ideologi untuk memuluskan setiap kehendak.
1997, tampilnya Megawati sebagai tokoh yang menonjol saat itu, membuat kekhawatiran tersendiri dilingkaran kekuasaan akan bangkitanya gerakan pendukung Soekarno. Masih segar dalam ingatan, bagaimana rezim Sukarno digulingkan oleh orde barus melalui kudeta berdarah yang banyak memakan korban jiwa. Kehawatiran ini ditunjukkan oleh beberapa elit politik dan militer secara berlebihan. peristiwa 27 Juli 1997 tak terelakan. Peristiwa berdarah itu membuat masyarakat menjadi semakin tidak percaya terhadap pemerintahan orde baru. Rakyat yang sedang didera krisis ekonomi berpandangan, pemerintah sudah tidak perduli dengan rakyat kecil.
1998 menjadi puncak kemuakan rakyat terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan. Bermula dari krisis, membuat harga-harga melambung tinggi, belum lagi kebijakan penguasa yang dinilai oleh rakyat tidak memihak kepada rakyat. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi pemicu, di tengah himpitan ekonomi yang semakin tinggi, pemerintah kala itu justru menaikan harga BBM. Langkah terebut dinilai telah menyakiti hati masyarakat dan dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan pemerintahan orde baru terhadap penderitaan yang sedang dirasakan mayoritas bangsa.
Media mulai gencar menyajikan penderitaan rakyat di layar kaca, membuat hati nurani kalangan kampus, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, dan para kaum intelektual muda terketuk. kelompok-kelompok diskusi gencar membicarakan keadaan yang semakin memprihatinkan. Beberapa elemen masyarakat dan mahasiswa pun mulai bergerak turun ke jalan, menyuarakan ketidakpuasan mereka kepada pemerintah. Kala itu, gerakan-gerakan yang frontal menyuarakan ketidakberesan pemerintah merupakan hal yang tabu, sekecil apapun tindakan, selalu dipandang sebagai pengancam pemerintah dan negara.
8 Mei 1998, peristiwa Gejayan Yogyakarta terjadi, seorang mahasiswa bernama Mozes Gatotkaca menjadi korban tindakan represif aparat. Ada kepercayaan yang berkembang di kalangan aktivis saat itu, jika Yogyakarta bentrok, maka di ibu kota akan terjadi kerusuhan. Dan sisa sisa bentrokan itu sebenarnya masih dapat kita jumpai di sepanjang jalan Gejayan Yogyakarta.
Entah suatu kebetulan atau tidak, hal itu nampaknya terjadi, bentrokan berdarah dengan korban lebih banyak terjadi, 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur. tidak terima dengan keadaan tersebut, masyarakat pun marah. 13 - 14 mei 1998 kerusuhan meletus di Jakarta, kemudia meluas ke beberapa daerah lain di Indonesia. Bahkan eyang saya yang tinggal di Surakarta pun mengatakan, keadaan kala itu mengingatkan dirinya akan masa-masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
nampaknya kerusuhan itu bukan kerusuhan biasa, jurang kesenjangan antara kelompok kaya yang dinilai sebagian masyarakat dikuasai etnik tertentu menyebabkan kerusuhan semakin menjadi. Sudah menjadi rahasia umum, kelompok minoritas itu dekat dengan penguasa, hal itu pula yang menyulut kemarahan rakyat. kembali ke rangkaian peritiwa yang marah-marah tadi, puncak perlawanan rakyat dan mahasiswa adalah dikuasai gedung DPR/MPR oleh ratusan ribu massa. Tekanan yang terus datang, membuat ketua MPR kala itu, Harmoko, mengeluarkan pernyataan kepada presiden untuk meletakkan jabatan.
21 Mei 1998, secara mengejutkan Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri, mahasiswa dan rakyat yang memantau kabar tersebut melalui media elektronik, sontak bersorak gembira, mereka merasa perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu rezim otoriter mencapai puncaknya, bebas dari intimidasi, bebas menyuarakan pendapat dan bebas dari penindasan selama 32 tahun..............................bersambung