Wednesday, 22 February 2012

Dari Penderitaan Menuju Perubahan Untuk Rakyat Indonesia 1

Masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengenal Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah lembaga negara baru, hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD)1945. Amandemen UUD 1945 sendiri, merupakan salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 yang dihembuskan oleh rakyat, aktivis dan kalangan akademisi. Sehingga tidak salah jika dikatakan MK merupakan anak kandung gerakan reformasi. bahkan beberapa kawan yang tinggal tidak jauh dari gedung MK pun hanya mengetahui MK dari gedungnya saja, namun tidak tahu apa itu MK secara mendalam.

MK sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, memiliki empat wewenang dan satu kewajiban. Kewenangan dasar MK adalah menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945, kewenangan ini dimiliki MK di seluruh dunia. Sebelum amandemen UUD 1945, Indonesia tidak memiliki mekanisme hukum untuk menguji UU terhadap konstitusi. Sehingga jika ada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari berlakunya suatu UU, tidak ada lembaga yang dapat memberikan pendapat hukum atas pelanggaran itu. Di era orde baru, semua permasalahan konstitusionalitas suatu UU selalu diselesaikan mekanisme politik, dimana kelompok yang berkuasa menentukan konstitusionalitas suatu aturan.
Sebuah kebijakan selalu dibuat berdasar kepentingan suatu kelompok tertentu, kedekatan penguasa dengan pengusaha menciptakan industri kekuasaan, dimana kebijakan diperjual belikan oleh penguasa kepada mereka yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Hak-hak rakyat selalu diabaikan dengan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan penguasa tidak segan-segan menggunakan kekerasan mengatasnamakan konstitusi dan ideologi untuk memuluskan setiap kehendak.

1997, tampilnya Megawati sebagai tokoh yang menonjol saat itu, membuat kekhawatiran tersendiri dilingkaran kekuasaan akan bangkitanya gerakan pendukung Soekarno. Masih segar dalam ingatan, bagaimana rezim Sukarno digulingkan oleh orde barus melalui kudeta berdarah yang banyak memakan korban jiwa. Kehawatiran ini ditunjukkan oleh beberapa elit politik dan militer secara berlebihan. peristiwa 27 Juli 1997 tak terelakan. Peristiwa berdarah itu membuat masyarakat menjadi semakin tidak percaya terhadap pemerintahan orde baru. Rakyat yang sedang didera krisis ekonomi berpandangan, pemerintah sudah tidak perduli dengan rakyat kecil.

1998 menjadi puncak kemuakan rakyat terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan. Bermula dari krisis, membuat harga-harga melambung tinggi, belum lagi kebijakan penguasa yang dinilai oleh rakyat tidak memihak kepada rakyat. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi pemicu, di tengah himpitan ekonomi yang semakin tinggi, pemerintah kala itu justru menaikan harga BBM. Langkah terebut dinilai telah menyakiti hati masyarakat dan dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan pemerintahan orde baru terhadap penderitaan yang sedang dirasakan mayoritas bangsa.

Media mulai gencar menyajikan penderitaan rakyat di layar kaca, membuat hati nurani kalangan kampus, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, dan para kaum intelektual muda terketuk. kelompok-kelompok diskusi gencar membicarakan keadaan yang semakin memprihatinkan. Beberapa elemen masyarakat dan mahasiswa pun mulai bergerak turun ke jalan, menyuarakan ketidakpuasan mereka kepada pemerintah. Kala itu, gerakan-gerakan yang frontal menyuarakan ketidakberesan pemerintah merupakan hal yang tabu, sekecil apapun tindakan, selalu dipandang sebagai pengancam pemerintah dan negara.

8 Mei 1998, peristiwa Gejayan Yogyakarta terjadi, seorang mahasiswa bernama Mozes Gatotkaca menjadi korban tindakan represif aparat. Ada kepercayaan yang berkembang di kalangan aktivis saat itu, jika Yogyakarta bentrok, maka di ibu kota akan terjadi kerusuhan. Dan sisa sisa bentrokan itu sebenarnya masih dapat kita jumpai di sepanjang jalan Gejayan Yogyakarta.

Entah suatu kebetulan atau tidak, hal itu nampaknya terjadi, bentrokan berdarah dengan korban lebih banyak terjadi, 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur. tidak terima dengan keadaan tersebut, masyarakat pun marah. 13 - 14 mei 1998 kerusuhan meletus di Jakarta, kemudia meluas ke beberapa daerah lain di Indonesia. Bahkan eyang saya yang tinggal di Surakarta pun mengatakan, keadaan kala itu mengingatkan dirinya akan masa-masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

nampaknya kerusuhan itu bukan kerusuhan biasa, jurang kesenjangan antara kelompok kaya yang dinilai sebagian masyarakat dikuasai etnik tertentu menyebabkan kerusuhan semakin menjadi. Sudah menjadi rahasia umum, kelompok minoritas itu dekat dengan penguasa, hal itu pula yang menyulut kemarahan rakyat. kembali ke rangkaian peritiwa yang marah-marah tadi, puncak perlawanan rakyat dan mahasiswa adalah dikuasai gedung DPR/MPR oleh ratusan ribu massa. Tekanan yang terus datang, membuat ketua MPR kala itu, Harmoko, mengeluarkan pernyataan kepada presiden untuk meletakkan jabatan.

21 Mei 1998, secara mengejutkan Presiden Suharto menyatakan mengundurkan diri, mahasiswa dan rakyat yang memantau kabar tersebut melalui media elektronik, sontak bersorak gembira, mereka merasa perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu rezim otoriter mencapai puncaknya, bebas dari intimidasi, bebas menyuarakan pendapat dan bebas dari penindasan selama 32 tahun..............................bersambung

Sunday, 13 July 2008

MLETHO

MLETHO, cukup satu kata untuk menggambarkan bagaiman kebijakan energi pemerintah, mleto berarti tidak aturan, berantakan, tidak mau disiplin, seenaknya sendiri dan nyerempet-nyerempet dengan kata sontoloyo. Cukup aneh kita yang memiliki sumber energi, tapi kita sendiri kekurangan, rasanya saya hampir bosan menuliskan kalimat ini. Tapi itu dia kenyataannya, kita seperti ayam kelaparan di lumbung padi.
Sekali lagi MLETHO, bagaimana tidak mletho, pemerintah sendiri yang membuat negara ini masuk dalam krisis dengan menaikkan harga BBM, ketika diingatkan, alasan mereka anggaran defisit. Kini ketika pengusaha mengeluh dan mengancam akan menarik investasi baru pemerintah yang hampir sontoloyo ini bingung. Ingat para pengusaha menaruh investasi di Indonesia bukan tanpa perhitungan.
Ada beberapa hal yang menjadi perhitungan para investor, pertama tenaga kerja yang murah, kedua bahan baku yang melimpah dan ketiga adalah negara ini memiliki sumber energi yang lebih dari cukup. Namun kenyataannya pemerintah tidak sadar akan hal ini, dan yang paling vital di masa depan adalah bagaimana mengelola cadangan energi nasional, kita harus bisa menabung, bukan berarti pelit, tapi bagaimana memenuhi kebutuhan diri sendiri lebih dahulu baru kepentingan orang lain.
Sebetulnya itulah prinsip kapitalisme, urus diri sendiri terlebih dahulu, kalau sudah cukup memiliki kemampuan baru kemudian membantu orang lain. Masalahnya pemerintah serba terbalik, dalam berdagang dengan negara lain komunis, terhadap sesama PEDABAT (pedagang yang jadi pejabat) dan PEJAGANG (pejabat yang jadi pedagang) berjiwa sosialis terhadap rakyatnya sendiri menjadi kapitalis, lalu dimana fungsi pemerintah yang semestinya mensejahterakan rakyat, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang-goyang

Tuesday, 18 March 2008

Lampu menyala yang mati

Lampu menyala yang mati
Bukan maksudnya bikin bingung seperti keadaan PLN yang bkin lampu mati, nyala, mati, nyala, tapi ini tentang kebijakan menyalakan lampu kendaraan roda duwa alias dogos, alias motor yang mati, yang jelas dimatiin sama pengendaranya. Kalau menurut tips aman berkendara di motorcyclecruiser.com salah satu cara untuk mengurangi risiko kecelakaan adalah selalu beranggapan kita tidak terlihat, yang jelas bukan karena punya ilmu kanuragan atau sejenisnya, kalau yang kaya begitu saya juga mau, tapi tidak terlihat oleh pengendara lain di kaca spion.
Selain menggunakan pakaian yang berwarna terang, untuk membuat posisi kita mudah terlihat dan dipantau oleh kendaraan lain adalah dengan menyalakan lampu motor. Jujur saja ini salah satu cara yang efektif, pernah saya melakukan percobaan kecil-kecilan sebelum ada aturan ini dengan cara membandingkan antara motor dengan lampu menyala di siang hari dan jika tidak menyalakan lampu dilihat dari spion. Hebatnya kira-kira jarak 500 meter atawa setengah kilo saya masih bisa melihat motor yang lampunya menyala di kaca spion sedangkan yang lampunya mati tidak terlihat karena samar dengan aspal jalan.
Sayangnya masyarakat bahkan juga aparat kurang begitu peduli dengan hal seperti ini. Banyak yang curiga jangan-jangan ini hanya permainan perusahaan bohlam lampu motor saja, padahal dengan lampu menyala lampu motor masih bisa hidup dua tahun lebih, ini juga pengalaman pribadi lho, sewaktu belum ada aturan lampu menyala di siang hari, sampai-sampai dikatain orang gila, bahkan sempat adu mulut sama pak polisi gara-gara lampu motor nyala di siang bolong.
Jadi menyalakan lampu sepeda motor bukan tidak ada alasan yang logis, apalagi dengan banyak kondisi jalan di Indonesia yang rusak karena banjir atau longsor, mudah untuk dipantau bukan hanya membantu pengendara kendaraan yang lain, tetapi juga membantu diri sendiri untuk terhindar dari kecelakaan. Tinggal pilih, mau selametin duwit 20rebu keselamatan terancam atau lampu nyala keselametan bisa dijaga